Posted by: tigorsihombing | May 11, 2010

Baduy: “Kisahmu kini,,,” (Jangan pernah berubah)

Daerah Baduy secara geografis terletak tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut, membuat wilayah ini memiliki topografi berbukit dan bergelombang. Bisa mengunjungi Baduy adalah salah satu keinginanku sejak lama. Hingga ada suatu kesempatan untuk berkunjung ke sana tanggal 30 April – 2 Mei 2010.  Aku berangkat bersama teman-teman dari grup Lembah Pelangi. Kami bersepuluh, 7 laki-laki: aku (Tigor), Wisnu, Pak Rosid, Dani, Kiki, Cimeng, Thena dan 3 perempuan: Nia, Nufus dan Iin. Kami berangkat dengan mengendarai 2 mobil yaitu Toyota Rush dan mobil Jeep. Perjalanan yang sedianya dijadwalkan Pk. 14.00 molor jadi Pk. 16.00 dikarenakan kami harus menunggu kedatangan Wisnu yang membawa mobil Jeep. 

  Tujuan kami adalah menuju desa Ciboleger. Desa Ciboleger adalah terminal wisata Baduy yang dibuka tahun 1992 dan tempat terakhir kendaraan diperbolehkan masuk. Kurang lebih 5 setengah jam (termasuk istirahat/ sholat  di jalan) dihabiskan menuju tempat ini karena harus melewati beberapa kecamatan yang jalannya masih kecil, sempit, berkelok dan curam, ditambah lagi hujan lebat turun ketika kami mulai memasuki wilayah Kecamatan Leuwidemar sehingga mobil kami harus melewati jalan yang licin dan sudah gelap waktu itu. Sekitar pukul 21.30 kami tiba di terminal Ciboleger. Suasana terminal malam itu sudah sepi hanya ada beberapa warung makan yang masih buka. Setelah memarkirkan mobil, kami pun langsung melangkah memasuki daerah baduy luar dengan menaiki jalan berundak batu yang  di kiri kanannya adalah deretan toko penjual souvenir, warung dan ternyata ada juga sekolah dasar disana. Jalan kemudian makin naik melewati jalan bertanah berundak-undak khas pedesaan hingga kami memasuki desa Baduy Luar yg terluar, lebih naik lagi ke atas baru terlihat rumah-rumah panggung khas Baduy Luar. Sampailah kami di sebuah rumah panggung sederhana khas Baduy, berbilik bambu dan beratap rumbia. Itulah rumah seorang warga Baduy Luar bernama Kang Arwan. Rumah inilah yang  akan menjadi tempat penginapan kami malam itu. Rumah kang Arwan berada tepat di depan rumah Jaro Dainah (Jaro = kepala desa). Sesampainya di rumah Kang Arwan, ia pun langsung mempersilahkan kami untuk masuk. Rupanya makan malam telah disediakan untuk kami sebelumnya. Kami yang sudah lapar langsung menikmati makan malam berupa nasi dengan lauk ikan mas goreng plus sambal dan kerupuk. Dengan diterangi cahaya seadanya dari lampu semprong kami pun makan dengan lahapnya. Hemm,,, kurasakan atmosfir malam yang sangat berbeda dengan  malam yang biasa kulewati di kota Jakarta. Di sini sunyi dan gelap, tak ada suara TV ataupun musik yang biasa ku dengarkan setiap malam. Setelah makan malam, kami pindah ke teras rumah, mengobrol dengan Kang Arwan sambil sesekali menyeruput kopi panas, mantap bah,,, Suasana malam yang gelap dan dinginpun pecah dengan suara celotehan kami. Hingga waktu menunjukkan pukul 23.30 sebagian dari kami termasuk aku memutuskan untuk tidur. Sementara beberapa kawan yang lain melanjutkan obrolan mereka dan yang lainnya pergi ke bawah (ke terminal) mencari warung dimana mereka dapat men’cas‘ handphone mereka yang sudah ‘low batt’. Di daerah Baduy Luar handphone masih diperbolehkan digunakan. Mau tahu, opertor seluler mana yang sinyalnya  ‘eksis’ di tanah Baduy ini? Perhatikan saja fotoku di samping ini. Berhubung kartu HP ku bukan dari operator tersebut, alhasil aku nggak bisa meng-update status face book ,,,, 😦

Pk. 23.30 – Pk. 05.30 (Tidur)

Sabtu (1 Mei 2010)

Setelah bangun pagi, akupun menyempatkan diri duduk di teras rumah sambil memperhatikan geliat aktivitas masyarakat Baduy di pagi hari. Satu hal yg menarik adalah perempuan Baduy Luar yang aku temui di desa ini mulai menjauh dari kesan kesederhanaan, mereka banyak menggunakan kalung emas (entah asli atau imitasi). Setelah sarapan pagi dan kami pun bersiap-siap berangkat menuju Baduy Dalam dengan ditemani oleh Kang Arwan dan Adi (adik ipar kang Arwan yang masih kecil) sebagai pemandu jalan. Namun sebelum beranjak kami pun mengisi buku tamu dan menuliskan maksud rombongan kami. Wilayah Baduy Dalam, dari beberapa literatur yang kubaca adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum terusik dengan kebudayaan luar. Penduduk Baduy Dalam mengenakan baju dan ikat kepala warna putih serta semacam kain sarung hitam panjang sekitar 40 sentimeter, yang ditapihkan ke bagian bawah tubuhnya, di atas lutut. Baju lengan panjang, tanpa kerah, dan tanpa kancing ini biasa disebut “kutung”. Istilah “Baduy Dalam” digunakan untuk membedakan kelompok masyarakat adat ini dengan saudaranya, “Baduy Luar”. Secara sederhana, Baduy Dalam digunakan untuk kelompok masyarakat adat Baduy yang masih memegang teguh adat istiadat peninggalan leluhur mereka. Peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya bagi warganya adalah tidak menggunakan kendaraan jenis apapun untuk sarana transportasi, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi) seperti kamera, tape, atau handphone. Begitu juga larangan menggunakan bahan-bahan yang dianggap menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya, sabun mandi, pasta gigi, sampo, dan sebagainya.  Mereka juga tidak diperbolehkan adat untuk mengenyam pendidikan. Konon alasannya jika seseorang menjadi pintar, ia akan membodohi yang lainnya sehingga akan timbul kekacauan ditengah-tengah masyarakat yang selama ini hidup rukun.  Adapun Baduy Luar adalah warga Baduy yang tinggal di luar dari tiga kampung Baduy Dalam (Kampung Cibeo, Kampung Cikeusik dan Kampung Cikertawana). Mereka tetap dianggap sebagai anggota masyarakat adat Baduy. Hanya saja, dalam praktik sehari-hari, mereka tidak seketat orang Baduy Dalam dalam menjalankan aturan adat. Sebagai contoh, orang Baduy Luar tidak dilarang bepergian dengan naik kendaraan bermotor. Beberapa rumah mereka juga sudah dilengkapi perlengkapan modern.  Aaahh,,, semuanya itu masih menjadi misteri bagiku sebelum kubuktikan sendiri kebenarannya. Apakah gambaran kehidupan Baduy Dalam masih seperti tetap dulu, tak terimbas pengaruh luar?   Itulah yang hendak kubuktikan sendiri dalam perjalananku ini. So,  let’s prove it,,! 

Pk. 09.00 kami memulai perjalanan dengan melewati jalan mendaki bertanah tak berundak. Makin jauh, kiri kanan kami sudah tidak ada rumah-rumah panggung, sepanjang mata memandang hanya semak-semak dan sedikit ladang sempit. Selang beberapa lama berjalan, kami melalui jalan yang didominasi tanah merah basah. Selama di perjalanan beberapa kali kami berpapasan dengan beberapa rombongan perempuan dan rombongan lelaki Baduy Luar yang berlawanan arah dengan kami. Tak lupa kami menyapa mereka sambil tersenyum ramah setiap berpapasan dengan mereka. Lelaki baduy luar dapat dikenali dari pakaiannya yang berwana hitam dan bertutup kepala motif warna biru-hitam. selain itu masyarakat Baduy terbiasa untuk berjalan beriringan seperti baris-berbaris, entah jalannya sempit ataupun luas mereka jarang sekali saling mendahului diantara sesama peserta rombongan.  Jalanan yang kami lalui berikutnya mulai bervariasi naik dan turun bukit, ada yang jalanan yang berbatu, ada juga yang bertanah merah dengan kemiringan yang curam, kadang berundak-undak, kadang juga tidak, membuat kita harus ekstra hati-hati untuk melaluinya kalau tidak mau terpeleset karena malam sebelumnya sempat hujan, jalanan jadi lengket oleh tanah liat. Aku pun sempat menjadi korban jalan yang licin dan berlumut tersebut, sempat aku terpeleset dan jatuh di jalan menurun dengan posisi  jatuh yang salah sehingga menyebabkan pundak ku keseleo, aww,,, sakit sekali :-(.  Setelah melewati perbukitan yang cukup terjal, dan beberapa kali menyeberangi aliran sungai yang dangkal (kedalaman 20 cm), dimana tak ku lewati kesempatan untuk meminum airnya, sampailah kami di perkampungan Baduy Dalam yaitu desa Cibeo. Sebenarnya batas daerah antara kawasan Baduy Dalam dan Baduy Luar tidak selalu jelas terlihat. Biasanya para pemandu Baduy Dalam maupun Baduy Luar akan mengingatkan pengunjung bahwa kawasan itu sudah masuk wilayah Baduy Dalam yang terikat oleh banyak larangan. Jika di wilayah Baduy Luar masih bisa memotret, di wilayah Baduy Dalam aktivitas pemotretan harus benar-benar dihentikan.

Kami tiba Pk. 12.30. Tiga setengah jam sudah kami habiskan di perjalanan untuk sampai di desa Cibeo.  Dalam hal ini diperlukan stamina tubuh yang prima untuk sampai di Baduy Dalam. Karena perjalanan ini sungguh menguras tenaga dan menguji mental kita untuk tetap meneruskan perjalanan walaupun nafas sudah ngos-ngosan dan tubuh bermandikan peluh.

 

 Memasuki desa Cibeo kita harus melewati jembatan bambu sepanjang 12 meter di atas sungai yang dibuat oleh masyarakat Baduy. Jembatan ini adalah pintu masuk ke desa Cibeo. Keunikan jembatan baduy adalah tidak terdapat paku dalam setiap sambungannya, konstruksi hanya mengandalkan pasak dan tali temali. sehingga setiap kami melangkah, jembatan berdenyit dan bergoyang.  Ketika kami memasuki desa Cibeo ini, suasana cukup sepi terlihat, hanya beberapa orang kelompok pria dewasa  duduk santai di depan rumah salah satu rumah warga. Tatapan ramah terlihat dari wajah mereka melihat kehadiran kami. Pemandangan lain yang kulihat ketika baru memasuki kampung ini adalah adanya orang yang menjual makanan dan miniman ringan khas perkotaan di sana, walaupun hanya ditempatkan di atas meja bambu.  Aku tidak tahu apakah yang berjualan itu penduduk luar Baduy atau bukan, yang jelas sampah plastik bekas makanan ringan pun sempat kulihat berceceran di beberapa sudut lorong jalan disekitar rumah. Aahh,,, cukup disayangkan sekali :-(.    Hal yang menarik lainnya adalah perempuan-perempuan  Baduy. Mereka itu cantik alami, hampir kebanyakan mereka berkulit putih, berambut hitam lebat. Mengenai para lelaki Baduy, yang membedakan mereka adalah tutup kepala dan pakaiannya. Lelaki Baduy Dalam menggunakan pakaian berwarna putih dan kain penutup kepala putih, celana bisa saja berwarna putih atau hitam. Berbeda dengan Baduy Luar yang hitam-hitam. Gigi merekapun tidak kotor dan tidak lupa selalu terpasang golok di pinggang mereka. Setelah berjalan kira-kira 20 meter sampailah kami di salah satu rumah warga Baduy Dalam. Rumah itu adalah rumah milik Kang Ardi (51) yang akan menjadi tempat kami menginap malam nanti. Rumah penduduk Baduy dalam terbilang unik, antara satu dengan yang lainnya berjarak anatara 3 sampai 5 meter.  Rumah itu dibangun secara bergotong-royong, tidak menggunakan paku melainkan pasak, semua bahannya terbuat dari bambu dan kayu.  Lantainya dari bambu yang dibelah.  Mereka membangun rumah panggung setinggi antara 50 hingga 100 cm.  Bentuknya sama, beratap dari ijuk dan daun siren dan hanya berpintu satu. Setelah memperkenalkan diri, kami pun langsung terlibat pembicaraan akrab sambil menikmati air kelapa muda sebagai pengganti cairan tubuh kami yang banyak keluar,  aaahhh segarnya,,,, Setelah beberapa saat, beberapa dari kami termasuk aku berniat untuk tidur saja karena kecapekan setelah berjalan tiga setengah jam. Bangun dari tidur siang (kayak di rumah sendiri aja :-)), waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, aku bersama Wisnu berniat untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Sampailah kami di suatu area yang terdapat lumbung-lumbung padi milik warga Baduy Dalam yang berdiri dengan susunan berjejer. Lumbung padi ini semua dikerjakan hanya mengandalkan pasak dan tali-temali, memotong kayunya menggunakan golok, karena mereka tidak diperbolehkan mengunakan alat lain selain itu. Hal lain yang kutemui di luar, yang cukup menarik adalah anak-anak Baduy Dalam. Mereka sudah terbiasa dan terampil menggunakan golok dari kecil. Hampir setiap anak kecil yang aku temui terikat golok di pinggangnya. Golok tersebut adalah alat serba guna bagi mereka dan akan terus bersama sampai mati. Hal itu bisa dimaklumi karena hukum adat tidak mentolerir alat lain seperti cangkul, gergaji,paku dll.  Setelah makan sore, perbincangan pun berlanjut dengan anggota keluarga Kang Ardi yang memiliki seorang istri dan lima orang anak ini. Kebanyakan laki-laki di Baduy Dalam sudah dapat berbahasa Indonesia, karena sering berinteraksi dengan para tamu pendatang, tetapi tidak dengan para perempuannya karena mereka juga jarang berbaur dengan para tamu yang datang.  Salah seorang anak Kang Ardi bernama Juli (28) bercerita kepada kami bahwa ia beserta bapak dan adiknya pernah berkunjung ke Jakarta dengan berjalan kaki. Wow, berjalan kaki selama 3 hari 2 malam, ngebayanginnya aja udah capek. Ia pun menyebutkan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya selama di Jakarta diantaranya, daerah Bintaro, Ciputat, Koja, bahkan ke Mal dan Apartemen Taman Anggrek pun pernah disambanginya! Aku tercengang mendengarnya, sungguh luar biasa ketahanan tubuh orang Baduy Dalam ini. Ternyata orang Baduy Dalam sudah mengalami sedikit perubahan. Sudah bisa berbicara bahasa Indonesia dan ada yang bisa mengenal huruf. Ini bisa dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang ditulis dengan arang yang terdapat beberapa sudut dinding rumah mereka. Ketika ku tanya pada Juli, siapa yang menulis tulisan-tulisan itu? Juli menjawab: “Orang-orang sini sendiri yang melakukannya, alhamdullilah kami sudah tahu huruf, walaupun sedikit. Haah,,,?! aku tercengang sesaat, bukankah setahu ku mereka tidak diperbolehkan adat untuk mengecap pendidikan? “Kami belajar sendiri”, itu kata Juli.  Haripun  menjelang Pk. 18.00  dan sudah mulai agak gelap, aku dan Dani memutuskan menuju sungai yang berjarak kira-kira 25 meter di belakang rumah untuk membersihkan diri, mandi tanpa menggunakan odol, shampoo atau sabun sekalipun. Pokoknya dilarang menggunakan bahan-bahan yang mengandung kimia. Setelah kembali dari mandi, rombongan kami dan anggota keluarga kang Ardi terlibat obrolan ringan sambil sesekali melontarkan candaan yang mengundang tawa. Makan malam (walaupun hari masih sore) pun sudah siap tersaji untuk kami santap. Menu sore itu nasi, ikan mas goreng dan sambal. Nasi yang kami makan disajikan di mangkok keramik putih sedangkan gelas minumannya terbuat dari potongan bambu, hmm,,, lucu juga. Selepas makan, pk 19.00 kami duduk-duduk di teras sambil ngobrol, topiknya berganti-ganti mulai dari gaya hidup pedesaan, pengalaman travelling, sampai ke urusan politik dan korupsi yang terjadi di Jakarta. Lucunya, kami tak dapat melihat wajah lawan bicara karena malam yang amat pekat. Justru disinilah uniknya, hanya mendengar suaranya tanpa bisa membayangkan ekspresi wajahnya. Tak lama kami diluar, turunlah hujan yang cukup lebat yang memaksa kami untuk masuk kedalam rumah untuk segera beristirahat. Istirahat? padahal baru pk. 20.30. Sebenarnya mataku ini belum ngantuk, tapi mau ngapain lagi? mau keluar juga gelap dan hujan lebat pula, karena mati gaya akhirnya  tertidurlah aku.

Pk. 20.30 – Pk. 05.30 (tidur)

(Minggu, 2 Mei 2010)

Udara dingin yang berhembus dari bawah lantai rumah melalui celah-celah bambu yang tidak rapat menusuk tubuhku yang meringkuk kedinginan dalam bungkusan sarung. Ku buka mataku dan ku lihat garis-garis tipis sinar matahari dari celah dinding bilik bambu rumah Kang Ardi, ternyata sudah saatnya aku harus bangun. Kulihat beberapa temanku juga masih meringkuk kedinginan dan rupanya mereka masih enggan untuk bangkit dari tidur mereka. Aku langsung beranjak ke teras rumah dan duduk disana sambil menikmati udara pagi, ternyata kudapati Kang Arwan sedang ngobrol dengan Kang Ardi dalam logat Sunda yang khas. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan anak-anak Baduy Dalam yang duduk di depan rumah mereka, sesekali  mereka tertawa dalam obrolan mereka yang tak kumengerti. Lalu aku memutuskan untuk pergi sendiri ke sungai untuk sekedar membasuh muka dan membasahi kepalaku, ahhh,,, segarnya air sungai ini. Ketika balik ke rumah, kudapati semua teman-temanku sudah pada terbangun dan kelihatannya makanan sudah siap bagi kami. Beberapa dari kami langsung menyantap makan tersebut, sementara yang lain ada yang pergi sungai untuk membersihkan diri. Menu pagi ini ayam goreng plus sambal, nikmat sekali. Tapi entah kenapa pagi itu aku tidak begitu selera makan (maksudnya nggak nambah seperti kemarin, hehehe).

Pk. 08.00 Kami semua sudah siap-siap ingin berangkat pulang. Rute kami pulang ke rumah Kang Arwan adalah melalui desa Gajeboh. Rute ini katanya lebih tepat untuk rute pulang karena lebih ringan dan cepat dibandingkan rute sewaktu kita datang ke sini. Aku semakin bersemangat. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota keluarga Kang Ardi, rombongan kami segera beranjak dari sana. Seperti biasa, begitu kami melewati jembatan bambu di perbatasan desa, track mendaki yang curam pun langsung menyambut kami, “Baru berangkat,,,nafas udah ngos-ngosan kuat nggak ya aku sampai di Baduy Luar?” tanyaku dalam hati. Selama diperjalanan beberapa kali kami berpapasan dengan tamu-tamu yang baru datang pagi itu yang hendak memasuki Desa Cibeo.

Pk. 09.45 tibalah kami di perbatasan desa Gajeboh, sebuah jembatan bambu yang bertengger di atas sungai Ciujung terlihat dari kejauhan. Jembatan tersebut sebagai pintu masuk ke desa Gajeboh. Moment ini tak kami sia-siakan untuk berfoto-foto di jembatan tersebut. Puas “ber-narsis ria” di jembatan, kami pun mulai memasuki kawasan desa Gajeboh. Ku lihat banyak ibu-ibu dan anak-anak berkumpul di depan rumah mengenakan pakaian khas Baduy luar dan mengenakan sarung batik khas Baduy berwarna biru. Ternyata sedang terjadi kemalangan saat itu, seorang anak kecil baru saja ditemukan tewas terbawa arus sungai Ciujung yang deras dan berdebit cukup besar waktu itu.

Pada saat itu kujumpai sekelompok perempuan sedang menumbuk padi sehingga suara tumbukan alu mereka yang saling berbalasan terdengar cukup riuh. Rombongan kami pun berhenti sejenak sambil melihat-lihat aktivitas penduduk desa Gajeboh, sementara Kang Arwan melayat ke rumah korban. Ternyata keluarga anak kecil yang tewas tersebut adalah kerabat Kang Arwan. Setelah menunggu beberapa menit Kang Arwan menemui kami dan berkata bahwa ia harus jalan duluan menuju rumahnya karena ada sesuatu keperluan. Kami pun meneruskan perjalanan tanpa di dampingi Kang Arwan. Track yang kami lalui sekarang memang lebih ringan sedikit dari pada sewaktu kami pergi ke desa Cibeo karena lebih banyak turunan dari pada tanjakan, tapi harus hati-hati karena beberapa turunan licin sekali.

Pk. 11.30 Rombongan kami tiba di rumah Kang Arwan. Ternyata ia sudah sampai disana. Begitu tiba kami semua langsung merebahkan diri di teras rumah karena kecapekan. Keringat pun membasahi seluruh tubuhku seperti habis mandi sauna. Kamipun langsung disuguhi air teh hangat dan teh manis panas. Tak menyia-nyiakan kesempatan, langsung saja kami menyambar minuman tersebut.    Sebelum pulang kamipun membersihkan diri, mandi di kamar mandi umum yang ada di sekitar terminal, ahhh,,, lega dan segar sekali rasanya. Selesai mandi kami menyempatkan diri untuk membeli beberapa souvenir di toko-toko yang ada di sekitar terminal. Aku  juga membeli sarung dan ikat kepala khas Baduy, dan gula merah dari kang Arwan.

Puas berbelanja, rombongan kami pun siap berangkat pulang ke Jakarta. Tak lupa kami berpamitan dan mengucap terima kasih kepada kang Arwan sekeluarga dan Jaro Dainah selaku kepala desa setempat. Pk. 14.45 mobil kami pun melaju meninggalkan terminal Ciboleger menuju Jakarta, hari sangat cerah waktu itu. Tinggal di tempat terpencil seperti ini tak hanya dapat belajar banyak soal kearifan hidup, tetapi kembali menyadarkanku bahwa alam benar-benar bisa menjadi sahabat manusia untuk kembali menjadi manusia yang “membumi”. Ada begitu banyak kesan tertinggal di sana. Meski rasa lelah merajai seluruh tubuhku dan kaki pegal tak ketulungan, rasanya sebanding dengan pengalaman hidup yang kudapat. Hmm,,, Baduy saat ini, masyarakat dengan kehidupannya yang bersahaja, ternyata sedikit sudah berubah karena terpaan pengaruh kehidupan modern  masyarakat kota yang dibawa oleh para tamu yang semakin banyak datang ke sana. Aku berharap Baduy akan tetap terjaga keaslian alam, budaya dan gaya hidup masyarkatnya, karena itulah warisan budaya yang sangat berharga yang harus tetap lestari. Selamat tinggal Baduy, suatu saat aku berharap bisa kembali lagi ke sana,,, (Tigor Sihombing).

NB: Maaf jika ada kesalahan sebutan nama orang , tempat dan kekurang akuratan waktu kejadian.

Posted by: tigorsihombing | May 5, 2010

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Categories